Senin, 23 Maret 2009

Budidaya Ikan Kerapu Pasir

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Budidaya ikan laut di Indonesia khususnya ikan kerapu masih merupakan aktivitas yang relatif baru dan belum berkembang dengan baik. Padahal kegiatan budidaya laut mempunyai prospek yang sangat baik untuk dikembangkan, karena kegiatan ini berperan dalam hal penyediaan ikan konsumsi, peningkatan pendapatan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat pesisir. Selain itu juga dapat bermanfaat dalam pelestarian sumberdaya ikan laut yang mulai langka.


Kebijakan nasional atas pemanfaatan sumberdaya alam, diarahkan untuk mendorong pemulihan perekonomian nasional, melalui revitalisasi sumber-sumber ekonomi yang ada serta menciptakan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru. Sumber-sumber pertumbuhan ekonomi yang penting untuk dikembangkan pada saat ini adalah sumber pertumbuhan berbasis kekayaan sumberdaya alam (natural resource based) yang dimiliki bangsa Indonesia.

Induk

Berdasarkan kegiatan PKL yang dilakukan di BBRPBL Gondol-Bali. Pemeliharaan induk sangat diperhatikan karena merupakan salah satu kunci keberhasilan pembenihan. Kegiatan induk meliputi pengadaan calon induk, pemeliharaan calon induk, penempatan/pemindahan calon induk, pemeliharaan induk, pemijahan, penanganan telur dan pencegahan atau pengobatan induk.


4.3.1.1. Pengadaan Calon Induk

Faktor terpenting untuk menunjang keberhasilan riset pembenihan Ikan Kerapu Pasir di BBRPBL Gondol adalah pengadaan calon induk Ikan Kerapu Pasir . Calon induk berasal dari seorang pengepul/pengumpul yang bernama bapak Kili dari Jawa Tengah. Ikan kerpau pasir ditangkap di Kepulauan Kangean sebelah Utara Jawa Tengah.


Calon induk ikan kerapu pasir diangkut menuju ke bak pengobatan (medical tank) dengan menggunakan plastik. Tujuan dari pemindahan ikan ke bak pengobatan adalah untuk melakukan pengobatan dan observasi kondisi kesehatan ikan selama 24 jam. Ikan Kerapu Pasir tersebut dimasukkan ke dalam bak pengobatan dan diberikan perlakuan (treatment) dengan perendaman menggunakan larutan antiseptik Sodium Nifurstirenate (Na-NFS) yang lebih dikenal dengan nama dagang Erubazu, dengan konsentrasi 100 ppm selama 2 jam, kemudian di dalam bak dialirkan air laut selama 12 - 24 jam untuk membilas sisa larutan antiseptik Erubazu tersebut. Setelah selesai dialirkan air laut selama 24 jam, maka ikan - ikan kerapu pasir yang sehat dipindahkan ke bak aklimatisasi dengan menggunakan kantong plastik. Sebelum dipindahkan, terlebih dahulu dilakukan pencatatan data meliputi; pengukuran Forked Length (FL), berat tubuh dan pengambilan sampel finlet ikan untuk keperluan analisa genetik (DNA) di Laboratorium Bioteknologi BBRPBL Gondol.


4.3.1.2. Pemeliharaan Calon Induk

Pemeliharaan calon induk Ikan Kerapu Pasir dilakukan di bak aklimatisasi. Ikan Kerapu Pasir yang sehat dari hasil penangkapan dapat dipindahkan dari bak pengobatan (medical tank) ke bak aklimatisasi. Tujuan dari pemeliharaan calon induk Ikan Kerapu Pasir di bak aklimatisasi ini adalah untuk mengadaptasikan Ikan Kerapu Pasir yang baru ditangkap dengan lingkungan yang baru dengan membiasakan hidup di lingkungan yang terbatas dan juga makanan yang diberikan.


4.3.1.3. Pemindahan Ikan

Proses pemindahan (transfer) ikan dilakukan untuk memindahkan calon induk Ikan Kerapu Pasir dari bak aklimatisasi ke bak broodstock atau bak induk. Hal ini dilakukan untuk memisahkan ikan-ikan yang sudah matang gonad untuk siap dijadikan induk. Peralatan yang dibutuhkan untuk melakukan transfer ikan yaitu : timbangan, wadah penimbang ikan, plastik untuk memindahkan ikan, tag reader, data pemindahan ikan, meteran, sarung tangan, jaring, jarum suntik dan perlengkapan tulis. Proses pemindahan ikan adalah dengan cara menurunkan air laut di dalam bak sampai ketinggian air 0,5 m, kemudian beberapa orang turun ke bawah untuk melakukan pengurungan dengan menggunakan jaring pada ikan yang akan dipindahkan. Pengurungan dilakukan dangan cermat dan hati-hati agar ikan cepat tertangkap dan segera dipindahkan. Alat yang digunakan saat menangkap ikan di BBRPBL Gondol adalah jaring dengan ukuran mata jaring 2 – 3 cm. Proses pencatatan data baik meliputi pengukuran berat total, FL, setelah pencatatan data, ikan Kerapu Pasir dapat dipindahkan ke bak induk. Pemindahan dilakukan dengan menggunakan jaring kemudia dilepas secara perlahan-lahan. Hal ini akan mengurangi resiko ikan stres saat dipindahkan.


4.3.1.4. Pemeliharaan Induk

Pemeliharaan induk ikan kerapu pasir dilakukan di bak induk berkapasitas 75-150 m3 dengan kepadatan 25 ekor, ukuran 500 gr – 3 Kg. perbandingan jantan dan betina adalah 1 banding 2 (satu jantan dan 2 betina). Bak ini juga digunakan sebagai tempat pemijahan. Pertumbuhan ikan kerapu pasir yang dipelihara dalam bak induk dipertahankan semirip mungkin dengan pertumbuhan ikan kerapu pasir di alam sehingga ikan tidak mengalami kegemukan. ikan kerapu pasir dapat disampling setiap bulan untuk melihat pertumbuhan atau tingkat kematangan gonadnya.










Gambar 4.7. Induk Kerapu Pasir (Epinephelus corallicola)


4.3.1.5. Persiapan Wadah Pemeliharaan


Bak induk berfungsi sebagai tempat pemeliharaan dan pemijahan ikan. Ukuran bak pemeliharaan induk disamakan dengan bak pemijahan, yaitu 75-150 m3 dengan kedalaman 2-3 m berbentuk bulat guna menghindari berkumpulnya ikan pada satu sisi bak. Bak induk dilengkapi dengan pipa pemasukan dan pengeluaran air dan aerasi. Selain itu, bak induk juga memiliki sistem air mengalir dengan laju pergantian air paling sedikit 200% per hari. Pergantian air yang lebih banyak dapat menghindari munculnya penyakit berupa parasit. Bak induk dilengkapi dengan aerasi untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam air. Sisa pakan yang tidak termakan dibersihkan dengan cara disiphon sesegera mungkin. Pembersihan bak induk dilakukan pada saat bulan purnama untuk menghindari gangguan pemijahan. Bak induk memiliki atap yang berguna untuk menghindari sinar matahari langsung yang dapat mempercepat tumbuhnya lumut pada dinding bak sehingga bak akan cepat kotor.










Gambar 4.8. Bak Induk Kerapu Pasir


4.3.1.6. Penebaran Induk

Sebelum induk ditebar dalam bak pemijahan direndam dulu dalam air laut yang mengandung 150 ppm H2O2 selama 30 menit atau direndam dalam air tawar selama 5 menit untuk membasmi cacing yang menempel pada tubuh ikan. Jumlah induk dalam satu bak adalah sekitar 35-40 ekor dengan rasio kelamin jantan : betina adalah 1:2.


4.3.1.7. Pemberian Pakan

Makanan berfungsi utama sebagai penyedia energi bagi aktivitas sel-sel tubuh ikan (Buwono, 2004). Oleh karena itu dalam pemenuhan kebutuhan protein ini maka pakan yang diberikan harus mengandung protein yang tinggi sehingga proses pembentukan organ-organ tubuh ikan tidak terganggu. Jumlah protein yang dibutuhkan untuk tiap jenis ikan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ukuran ikan, suhu perairan, jumlah pakan yang dimakan. Jenis ikan karnivora membutuhkan tingkat protein yang lebih tinggi dari ikan herbivora (Mashur, 2006). Pakan yang diberikan untuk induk dan calon induk ikan tuna sirip kuning di BBRPBL Gondol-Bali ada 2 jenis, yaitu cumi-cumi (Loligo opalescens) dan ikan layang (Decapterus sp). Selain itu juga dilakukan pemberian vitamin.








Ikan rucah dan cumi-cumi Vitamin

Gambar 4.9. Pakan Induk dan Vitamin


Kedua jenis pakan ini didatangkan dari Banyuwangi - Jawa Timur, dan Benoa-Bali. Menurut Sudjoko (1995), daging cumi-cumi ini selain mudah dicerna juga kaya akan protein yang mempunyai nilai biologis tinggi. Pemenuhan kebutuhan protein yang tinggi ini digunakan untuk pertumbuhan ikan.


Tabel 4.17. Jadwal Pemberian Pakan Induk Kerapu Pasir
No
Hari
Jenis pakan

1
Senin
Cumi-cumi

2
Selasa
Ikan rucah + Vit mix

3
Rabu
Ikan rucah + Vit mix

4
Kamis
Cumi-cumi

5
Jumat
Ikan rucah + Vit mix

6
Sabtu
Cumi-cumi

7
Minggu
Ikan rucah + Vit mix



Induk diberi pakan ikan rucah segar berupa campuran dari beberapa jenis ikan. Karena ikan rucah dari jenis ikan sardine (tembang) mengandung enzim Thiaminase yang dapat merusak vitamin B1, maka pemberian pakan induk tidak hanya berupa ikan sardine saja. Ikan rucah untuk induk harus betul-betul segar dan disimpan dalam freezer. Pemberian pakan induk dengan ikan rucah yang kurang segar dan sudah teroksidasi menyebabkan induk sakit dan mati. Untuk memperbaiki mutu telur yang dipijahkan, induk diberi pakan cumi selain rucah paling tidak sekali dalam seminggu.


Induk yang telah dipelihara dalam bak untuk beberapa waktu berkumpul disatu tempat dekat dengan dinding bak. Untuk itu, waktu pemberian pakan betul-betul dilihat jangan sampai ada pakan yang tidak termakan. Jumlah pakan yang biasanya dimakan hingga kenyang oleh 20 ekor induk dengan rata-rata berat badan 2 kg adalah 2,5-3,0 kg. Pada saat bulan gelap, nafsu makan induk sangat menurun. Induk hanya memerlukan setengah dari jumlah pakan biasanya. Pemberian pakan induk cukup dilakukan 4-5 kali seminggu karena kelebihan pakan dapat mengganggu kondisi induk yang sangat mempengaruhi produksi telur.


4.3.1.8. Pencegahan dan Pengobatan Penyakit

Sumber penyakit biasanya dibawa induk yang ditangkap di alam. Untuk itu dilakukan pemeriksaan tubuh induk baru secara teliti terhadap kemungkinan penyakit yang dibawa sebelum dimasukan kedalam bak pemijahan. Induk yang terserang penyakit umumnya memiliki nafsu makan yang rendah. Bila ada gejala kurang nafsu makan, tindakan pengendalian segera dilakukan. Jenis penyakit yang umumnya menyerang induk kerapu bebek adalah parasit, seperti Cryptocaryon irritans, Benedenia sp., Neobenedenia sp., Caligus sp., dan Lepeophptherius sp. Serangan C. irritans ditanggulangi dengan cara memindahkan ikan kedalam bak yang bebas C. irritans sebanyak 2 kali dengan interval waktu 3 hari. Serangan Benedenia sp. dan Neobenedenia sp. Ditanggulangi dengan cara atau direndam dalam air tawar selama 5 menit, 2 kali dengan interval waktu 7 hari. Sedangkan penyakit yang disebabkan oleh Caligus sp., dan Lepeophptherius sp. diobati dengan cara merendam ikan dalam air laut yang mengandung 150 ppm H2O2 selama 30 menit.









Gambar 4.10. Perendaman Ikan dengan Air Tawar, Formalin dan atau Anti Biotik


4.3.1.9. Pematangan Induk

Pematangan induk dilakukan secara alami, yaitu melalui pakan berupa campuran cumi dan ikan rucah yang diberikan seminggu sekali. Pemberian pakan yang baik adalah sampai ad abilitum (kenyang). Pakan yang diberikan adalah pakan rucah dan cumi-cumi. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dan menghasilkan telur yang baik, perlu dicampurkan vitamin mix pada pakan.


4.3.1.10. Sampling Kematangan Gonad

Dari hasil wawancara dengan para tekhnisi, perkembangan gonad diamati menggunakan metode kanulasi. Didapatnya butiran telur pada selang kanula mencirikan induk betina telah matang gonad, sedangkan pada induk jantan, kematangan gonad dicirikan dengan keluarnya cairan putih susu atau sperma saat dilakukan pengurutan pada bagian perutnya. Selain itu jika diberi pakan tidak ada respon sama sekali (malas makan).






Kanulasi





Gambar 4.11. Proses Kanulasi Induk Betina Kerapu Pasir

Induk yang akan dipijahkan diseleksi terlebih dahulu, secara umum yang perlu diperhatikan dalam seleksi induk adalah kelengkapan organ tubuh, tidak cacat, tidak luka dan berat induk. Berat induk mempengaruhi indeks kematangan gonad dimana semakin berat induk akan memiliki indeks kematangan gonad semakin besar sehingga kandungan telur atau sperma semakin banyak (Mustamin et al., 1999). Untuk mempermudah seleksi, terlebih dahulu induk dibius dengan menggunakan Ethynelglycol monophenylether dengan dosis 10 ppm. Seleksi calon induk dilakukan menjelang bulan gelap. Adapun ciri-ciri induk yang siap untuk dipijahkan adalah :


1. Induk jantan

Untuk mengetahui tingkat kematangan gonad induk jantan dilakukan dengan metoda stripping secara perlahan-lahan dari perut sampai ujung genitalnya. Stripping secara perlahan-lahan dengan tujuan untuk menghindari keluarnya sperma yang berlebihan dan terjadinya kerusakan organ dalamnya. Tingkat kematangan induk jantan ditentukan oleh kekentalan sperma hasil stripping, apabila sperma yang keluar berwarna putih susu maka induk siap dipijahkan. Menurut Mustamin et al. (1999), induk jantan siap dipijahkan jika memiliki sperma dengan ciri berwarna putih susu dan kental.


2. Induk betina

Secara fisual perut induk betina gendut dari perut sampai pangkal lubang genetalnya, warna tubuhnya cerah dan pergerakannya lambat. Untuk mengetahui tingkat kematangan gonadnya dengan kanulasi dengan cara memasukan selang kanula dengan diameter 1 mm kelubang genitalnya sedalam 4-6 cm kemudian dihisap secara perlahan-lahan. Telur yang terhisap berwarna kekuningan, berbentuk bulat dan telur terpisah satu dengan lainnya. Telur kemudian diamati menggunakan mikroskop dan diameter telur lebih dari 450 µm, hal ini sesuai dengan Mustamin et al. (1999), induk betina yang siap untuk dipijahkan jika mempunyai telur dengan diameter minimal 450 µm. Dengan seleksi induk diharapkan induk yang akan dipijahkan benar-benar matang gonad sehingga telur yang dihasilkan berkualitas baik.


4.3.1.11. Pemijahan Induk

Induk ikan kerapu pasir umumnya memijah pada malam hari pukul 21.00 sampai 00.00. Pemijahan terjadi secara kelompok (group spawning). Jumlah telur hasil pemijahan tergantung dari ukuran induk dan jumlah induk yang memijah. Telur yang dipanen biasanya yang mengapung, sedangkan yang mengendap (tidak dibuahi) hanya sebagian saja yang dapat terkumpul di kolektor telur dan sebagian besar langsung mengendap ke dasar bak pemeliharaan induk. Pemijahan ikan kerapu pasir terjadi mengikuti phase bulan (lunar cycle) yaitu terjadi pada saat bulan gelap (bulan baru) dari 2 hari menjelang bulan baru sampai 9 hari setelah bulan baru. Jumlah hari pemijahan (frekuensi pemijahan) per bulan berlangsung 6-11 hari berturut-turut.


1. Persiapan Wadah

Bak yang dipergunakan dalam pemijahan induk hampir sama dengan bak pemeliharaan induk. Namun, pada bak pemijahan dilengkapi dengan pipa peluapan yang diperpanjang hingga berhubungan dengan jaring penampungan telur (kolektor) yang dipasang pada bak penampungan telur. Bak penampungan telur berukuran cukup besar untuk menghindari terjadinya penumpukan telur. Sebagai perbandingan dengan kapasitas bak induk 75-150 m3, bak penampungan telur berukuran 2x2x1 m3. Posisi pipa tempat keluarnya air bersama telur tidak terlalu tinggi, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerusakan fisik telur akibat aliran air yang terlalu keras.











Bak Penampungan Telur





Gambar 4.12. Letak Bak Penampungan Telur


Bak pemijahan induk lebih jarang dibersihkan karena dapat berakibat buruk terhadap kondisi induk. Maka dari itu pada kegiatan PKL pembersihan bak dilakukan sebulan sekali yaitu pada waktu ikan mau memijah. Terlalu sering dibersihkan, induk akan terganggu dan stres akibatnya telur yang dipijahkan menjadi rendah mutunya.


2. Teknik Perangsangan dan Pemijahan

Metoda pemijahan dengan cara manipulasi lingkungan dengan teknik penjemuran. Metoda manipulasi lingkungan dilakukan untuk menaik turunkan suhu dan salinitas serta dilakukan pemasukan air baru. Pemijahan dilakukan dengan cara mengumpulkan induk hasil seleksi yang siap memijah pada bak pemijahan dengan perbandingan antara induk jantan dan betina adalah 1 : 2. Penjemuran dilakukan dua hari menjelang bulan gelap dengan cara menurunkan permukaan air sampai kedalaman 30 cm dari dasar bak. Penjemuran dimulai pada pagi hari pada pukul 09.00 setelah pemberian pakan yang akan menaikkan suhu dan salinitas air. Kemudian air pemeliharaan dinaikkan seperti semula dengan penambahan air baru pada sore hari pukul 16.00, yang akan menurunkan kembali suhu dan salinitas air. Penambahan air baru dilakukan untuk merangsang pematangan inti telur kemudian merangsang pemijahan.


Induk kerapu pasir di Balai Riset Budidaya Laut Gondol memijah setiap bulan, terutama 4-7 hari sebelum dan sesudah bulan gelap (bulan mati). Proses pemijahan terjadi pada malam hari tanpa cahaya, proses ini tidak diketahui karena induk akan merasa terganggu dan tidak jadi memijah jika mendapat gangguan dari luar. Pengeluaran telur dilakukan secara parsial dimana induk betina mengeluarkan telurnya sedikit demi sedikit. Pemijahan berlangsung selama kurang lebih satu minggu.















Sumber : BBRPBL Gondol-Bali

Gambar 4.13. Diagram Pemijahan Ikan Kerapu Pasir


Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa pemijahan ikan Kerapu Pasir (Epinephelus corallicola) yang paling banyak yaitu pada bulan Agustus dengan kisaran telur sekitar > 9 juta butir. Ikan kerapu pasir menghasilkan telur paling rendah yaitu pada bulan Februari – April berkisar <>


4.3.1.12. Penanganan Telur

1. Pemanenan Telur

Telur akan berkumpul di jaring pengumpul telur (eggs collector). Kolektor telur dibuat dari jaring yang lembut dengan ukuran mata jaring antara 300-400 mikron.Telur yang terapung dalam kolektor akan dipanen pada pagi hari sekitar jam 07.00-08.00. Pada saat itu perkembangan telur telah mencapai stadia embrio, apabila perkembangan telur belum mencapai stadia embrio, pemanenan di tunda beberapa saat hingga mencapai stadia embrio. Hal ini untuk menghindari terjadinya kerusakan fisik telur akibat gangguan pemanenan. Hal sesuai dengan pendapat Mustamin et al. (1999), pemanenan telur dilakukan pada pagi hari atau jika telur telah mengalami perkembangan embrio fase gastrula sehingga sudah cukup kuat untuk dipindahkan. Pemanenan telur dilakukan dengan cara resirkulasi air dimana telur terbawa aliran air yang keluar menuju bak pemanenan telur melalui saluran pemanenan yang berada di sisi atas bak.










Gambar 4.14. Bak Penampungan Telur Gambar 4.15. Pengambilan Telur


Cara pemanenan telur di dalam eggs collector adalah dengan mengangkat eggs collector setiap panen dan menggantinya dengan yang baru. Setelah pengumpul telur dilepas, telur dipindahkan kedalam fiber 100 liter, kemudian disaring dengan saringan ukuran 1 mm dengan diameter saringan 20 cm. Saringan ini berfungsi untuk memisahkan telur dengan kotoran. Telur yang terbawa aliran air ditampung dalam egg collector yang ada didalam bak pemanenan telur. Egg collector terbuat dari screen net dengan mesh size 150-200 µm. Telur yang berkualitas baik berwarna transpran dan mengambang di badan air. Hal sesuai dengan pendapat Hermawan et al. (2004), pemanenan telur dilakukan dengan cara resirkulasi air. Aliran air dari bak pemijahan ke egg collector di usahakan mengalir pelan, sehingga kemungkinan kerusakan telur akibat pemanenan dapat dikurangi. Telur yang sudah tekumpul di egg collector dipanen menggunakan gayung dan ditampung didalam ember yang kemudian telur yang telah terkumpul dimasukkan ke dalam fiber 100 liter dan dibiarkan selama beberapa menit untuk memisahkan telur yang baik dan telur yang jelek. Telur yang baik berdasarkan hasil pengamatan di bawah mikroskop, mempunyai ciri-ciri yaitu telur berwarna bening, telihat jelas, dan telur ini mengapung ke atas, sedangkan pada telur yang jelek mempunyai ciri-ciri yaitu berwarna putih susu, buram, dan mengendap di air. Menurut Anonymous (2004), kualitas telur jenis ikan laut dapat dilihat dari beberapa karakteristik sebagai berikut: daya tetas (hatching rate) tinggi, memiliki satu butir minyak (oil globule), memiliki bagian sel yang sama, tampak jernih, memiliki diameter telur yang besar, dan daya apungnya tinggi.




telur baik






telur jelek



Gambar 4.16. Pemisahan Telur Hidup (mengapung) dan Telur Mati (mengendap)


Pemisahan antara telur yang baik (mengapung ke atas) dan telur yang jelek (mengendap) dilakukan ditempatkan di bak 50 liter dan dihitung dengan metode sampling volumetrik, yaitu dengan mengambil 10 ml sampel kedalam beaker glass dan dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. Telur yang baik ditebar ke dalam bak penetasan telur yang bervolume 1 – 3 ton dan diberi aerasi, kemudian dilakukan sampling dengan metode volumetrik yaitu dengan mengambil 100 ml sampel kedalam beaker glass dengan ulangan tiga kali. Setelah sampel telur yang baik dan jelek diambil, maka dilakukan perhitungan dengan menggunakan petridisk dan diamati di bawah projector profile kemudian diamati di bawah mikroskop untuk diambil gambarnya. Berdasarkan sampling telur (tabel 4.8 (40)) diketahui jumlah telur yang baik dan jumlah telur yang jelek.



Cara perhitungan jumlah telur :






A














B


Gambar 4.17. Pengukuran Diameter Oil Globule (A) dan Diameter Telur (B)


Setelah telur yang baik dihitung, kemudian dilakukan pengambilan gambar telur denggan menggunkan mikroskop yang telah dilengkapi dengan kamera dan terhubung dengan komputer, sehingga pengamatan telur dapat dilihat melalui layar monitor dan dapat diukur diameternya, yaitu meliputi: diamater telur dan oil globule. Diameter telur hasil pemijahan berkisar 750-840 mm (rata-rata 805 mm), dengan ukuran butiran minyak (Oil globule) antara 160-185 mm (rata-rata 175 mm). Ini hampir sama dengan jenis kerapu lain seperti pada kerapu bebek (Cromileptes altivelis) dengan diameter telur 880 um (Slamet et. al., 1996); pada kerapu macan diamater telur 990 um (Kohno, et. al. 1990); kerapu batik (E. microdon) 880-885 um (Slamet dan Tridjoko, 1997).


Telur yang baik dan jelek dapat diketahui dengan melihat telur itu sendiri mengapung, melayang atau mengendap di dasar fiber. Telur yang mengapung adalah telur yang sangat baik untuk ditebar, telur yang mengapung adalah telur yang kemungkinan apabila menetas larvanya cacat dan telur yang mengendap adalah telur yang mati. Apabila telur tidak dibuahi, maka akan terdapat perbedaan, dimana telur yang tidak terbuahi akan berwarna buram dan tidak terlihat perkembangan selnya pada saat diamati dibawah mikroskop. Perbedaan telur yang dibuahi (fertile) dengan telur yang tidak dibuahi (unfertile) dapat dillihat dalam Gambar (4.18)(60).









Jernih Buram



(a) (b)

Gambar 4.18. Perbedaan telur dibuahi dan tidak dibuahi


2. Inkubasi Telur

Inkubasi telur dilakukan langsung pada bak pemeliharaan larva kerapu pasir, hal ini dilakukan karena dapat merusak telur dan larva yang baru menetas daya tahannya sangat rendah (BBRPBL Gondol, 2007). Inkubasi langsung dalam bak pemeliharaan bisa mencapai tingkat Hatcing Rate ikan kerapu pasir 76,8%. Setelah telur menetas, maka dilakukan perhitungan Hatching Rate (HR) atau daya tetas telur, yaitu :







Penetasan telur juga dapat dilakukan di tempat inkubasi telur sampai menetas. Setelah dilakukan perhitungan HR, maka akan diketahui jumlah penebaran telur pada bak pemeliharaan larva. Bak inkubasi telur yang digunakan adalah bak fiber transparan bervolume 200 Ltr dengan 2 titik aerasi yang terletak dibawah (gambar (4.19)(61)). Pada bak ini dilakukan sirkulasi air dengan sistem air mengalir terus menerus (over waterflow) dengan debit berkisar ± 2 Ltr/menit. Air yang dialirkan ke bak inkubasi telur ini merupakan air yang telah dilakukan penyinaran dengan menggunakan ultra violet (UV), karena tempat inkubasi telur ini berada di ruang pembenihan. Fungsi dari penyinaran air laut yang akan digunakan dengan menggunakan sinar UV ini adalah untuk membunuh bakteri yang ikut atau terkandung di dalam air yang nantinya dapat menimbulkan penyakit pada telur atau larva ikan. Radiasi sinar UV dapat membunuh organisme yang lebih kecil dari 15 µm (Nirmala, 2001).











Gambar 4.19. Bak Inkubasi telur


Persiapan inkubasi dilakukan dengan membersihkan bak fiber transparan ini dengan menggunakan air tawar dan disikat sampai bersih. Tujuan dari pembersihan ini adalah untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang ada pada bak inkubasi telur. Outlet bak inkubasi ini berada di dasar bak dan dihubungkan dengan pipa PVC yang telah dibungkus dengan jaring. Fungsi dari penempatan pipa PVC dibungkus dengan jaring adalah untuk menjaga agar telur tidak ikut terbuang bersama aliran air keluar.


Perkembangan telur Ikan Kerapu pasir adalah sebagai berikut : tahapan pertama setelah telur terbuahi adalah tahapan cleavage (pembelahan sel), dimana telur akan mengalami pembelahan dari 1 sel menjadi 2 sel. Periode ini terjadi kira-kira 15 menit setelah terjadinya spawning, setelah itu secara bertahap akan terjadi pembelahan 4 sel, 8 sel, 32 sel, dan 64 sel (banyak sel). Stadia banyak sel ini, dimana jumlah sel yang membelah semakin banyak sehingga susah untuk dihitung ini disebut sebagai stadia morula. Selanjutnya sel yang sudah tidak terlihat dan muncul bentuk seperti songkok, stadia ini merupakan blastula, selanjutnya songkok tadi akan menutupi hampir semua sel, stadia ini merupakan gastrula akhir. Setelah itu sel akan masuk kedalam stadia embriogenesis dan setelah itu menetas. Tahapan perkembangan telur ikan kerapu pasir yang dilaksanakan pada tanggal 19 September 2007 di OFCF disajikan dalam gambar 4.22.


Hasil pengamatan perkembangan embrio pada suhu inkubasi 29-30oC menunjukkan bahwa telur mulai membelah menjadi 2 sel pada 40 menit setelah pemijahan (SP); kemudian membelah menjadi 4 sel pada 50 menit SP, pada 1 jam 5 menit SP membelah menjadi 8 sel, pada 1 jam 13 menit SP membelah menjadi 16 sel, pada 1 jam 28 menit SP membelah menjadi 32 sel, dan 64 sel pada pada 1 jam 45 menit SP. Stadia banyak sel terjadi pada 2 jam SP, morula pada 2 jam 42 menit, blastula pada 4 jam 50 menit SP, dan gastrula pada 6 jam 30 menit. Fase embrio awal mulai terlihat pada 8 jam SP, calon mata mulai terlihat pada 10 jam SP, dan jantung mulai berdenyut pada 14 jam SP. Embrio mulai bergerak pada 15 jam SP. Telur mulai menetas pada 16 jam 45 menit SP. Waktu inkubasi telur ikan kerapu sangat tergantung pada spesies dan suhu air media; pada E. akaara 23-25 jam pada suhu 25,1-27oC (Ukawa et al., 1966) an 24 jam pada suhu 22-25 oC (Tseng dan Ho, 1988); pada E. salmoides 32 jam pada suhu 24,5 oC dan 19 jam 35 menit pada suhu 30 oC , pada E. tauvina 26-35 jam pada suhu 27-30 oC (Hussain et al., 1975) dan 23-25 jam pada suhu 27 oC (Chen et al., 1977). Pada kerapu malabar (E. malabaricus) pada suhu media 26-29 ºC memerlukan waktu 17-19 jam (Ruangpanit, et.al., 1993). Pada kerapu sunu (Plectropoma leopardus) pada suhu media 23,1-23,7 ºC telur menetas pada 26 jam 40 menit SP (Masume, et.al., 1993); pada suhu 28,2-29,2 ºC pada 16 jam SP (Slamet dan Rukmana, 1997). Pada kerapu bebek (Cromileptes altivelis) pada suhu 27,5-30,5 ºC telur menetas pada 17 jam 45 menit SP (Tridjoko et. al., 1996). Pada ikan kerapu macan 18 jam pada suhu 28,4-29,1 oC (Kohno, et al., 1990). Pada ikan kerapu batik 18 jam 30 menit pada suhu 27-29 oC (Slamet dan Tridjoko, 1997).


Setelah 24 jam masa inkubasi di dalam bak, maka selanjutnya dilakukan pemanenan telur untuk memindahkan telur - telur yang menetas dan masih hidup ke dalam bak pemeliharaan larva. Diperkirakan setelah 24 jam masa inkubasi, telur – telur tersebut telah menetas. Waktu yang dibutuhkan dari pemijahan hingga telur menetas adalah 17 jam pada suhu air alami (27 – 28oC) (Hutapea dan Permana, 2006). Proses pemanenan atau pemindahan telur yang telah menetas ini adalah dengan cara mengalirkan air dari dalam bak ke dalam ember 10 Ltr yang sebelumnya telah dipasang nets berukuran 400 µm. Tujuan dari pemasangan nets ini adalah untuk mengumpulkan telur - telur Ikan Kerapu Pasir yang telah menetas dan memindahkannya kedalam bak pemeliharaan larva.

















(a) (b) (c) (d)














(e) (f) (g) (h)





(i) (j) (k) (l)


Gambar 4.20. Perkembangan Embrio Kerapu Pasir (Epinephelus corallicola)


Keterangan gambar :

a) 2 cell d) 32 cell g) Awal embrio j) Jantung mulai berdenyut

b) 4 cell e) Blastula h) Early embryonik k) Embrio mulai bergerak

c) 16 cell f) Gastrula i) Calon mata terbentuk l) Telur menetas


4.3.2. Pemeliharaan Larva

4.3.2.1. Persiapan Wadah Budidaya

Pemeliharaan larva bertujuan untuk mendapatkan pertumbuhan larva yang optimal dengan tingkat kelulushidupan (survival rate) yang tinggi. Dalam kegiatan pemeliharaan larva Ikan Kerapu Pasir biasanya dilakukan di dalam hatchery skala rumah tangga dengan menggunakan bak bak beton (4.21)(64).






Bak Penyediaan


Selang aerasi Fitoplankton


100 L



3 m


Inlet




3 m



Outlet


3 m


Gambar 4.21. Konstruksi Bak Larva Kerapu Pasir


Bak beton berbentuk persegi berwarna biru dengan volume 3 ton dan berdimensi 3 m x 3 m x 1 m dengan dilengkapi 9 titik aerasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Anindiastuti et al. (1998), penggunaan bak larva sebaiknya berukuran sedang yaitu sekitar 5-10 m3, apabila bak yang digunakan terlalu kecil akan mudah terjadi fluktuasi suhu sedangkan bak yang terlalu besar akan sulit dalam pengaturan aerasi, pencahayaan dan pengelolaan air. apabila Sebelum digunakan sebagai bak pemeliharaan larva, bak ini terlebih dahulu dicuci dan disikat sampai bersih dengan menggunakan air tawar dan klorin. Fungsi dari penggunaan klorin dalam pembersihan bak adalah sebagai antiseptik, sehingga bak yang akan digunakan bebas dari bakteri. Setelah bak dibersihkan kemudian diisi dengan air laut dan didiamkan selama beberapa menit, hal ini dilakukan untuk menstabilkan suhu perairan di dalam bak pemeliharaan, kemudian baru dilakukan penebaran telur Ikan Kerapu Pasir, karena selain tempat pemeliharaan larva juga berfungsi sebagai tempat inkubasi telur. Penebarab telur dilakukan pada sore hari sekitar jam 3 – 4 sore, tujuannya agar suhu media stabil dan bisa menetas pagi hari.


Berdasarkan tabel 4.9 (41) dapat diuraikan bahwa penetasan telur yang dilakukan pada bak pemeliharaan larva bervolume 3 ton, dengan suhu 27 – 29oC, pH 7,5 – 8 tebar sekitar 100.000 butir dapat menghasilkan telur yang menetas sebanyak 76.800 butir dengan daya tetas 76,8 %. Telur yang mati/tidak dibuahi sebanyak 23.200 butir dengan presentase 23,2%.


4.3.2.2. Pengaturan Aerasi

Suplai oksigen selama pemeliharaan larva disuplai dari blower melalui selang aerasi dan batu aerasi. Batu aerasi dipasang tergantung 10 cm dari dasar bak. Pemasangan dan besar kecilnya aerasi disesuaikan dengan umur larva dan perkembangannya. Pada D-0 sampai D-12 aerasi diletakkan berjejer pada tengah bak larva dengan jumlah titik aerasi sebanyak 9 buah titik.


Kekuatan aerasi diatur sesuai dengan umur larva dan stadia larva. Aerasi di dalam bak larva selain untuk suplai oksigen juga berfungsi untuk meratakan pakan yang diberikan dalam bak serta mencegah larva mengumpul pada salah satu titik.


Tabel 4.18. Pengaturan Kekuatan Aerasi pada Bak Larva.
No
Umur larva
Kekuatan
Tujuan

1
D.0-D.2
Sedang
-Larva menyebar ke permukaan.

-Mencegah larva mengendap di dasar.

2
D.3-D.11
Lemah
-Memudahkan larva memangsa pakan.

3
D.13-D.25
Sedang
-Agar larva tidak terkumpul pada tepi bak /

sudut.

4
D.26-D.35
Kuat
-Menambah kandungan oksigen.



4.3.2.3. Perkembangan Larva

Larva yang baru menetas (D0) berwarna bening transparan, melayang-layang mengikuti pergerakan arus air yang ditimbulkan oleh aerasi (bersifat planktonik). Larva hari ke satu sampai hari kedua (D1 sampai D2) berwarna putih transparan, dan masih melayang-layang bergerak mengikuti arus, larva mulai membuka mulut meskipun kuning telur (yolk sac) dan butir minyak (oil globule) masih ada. Yolk sac akan habis pada hari ketiga (D3), dan butir minyak (oil globule) akan habis pada hari keempat (D4). Kerapu pasir mempunyai diameter telur berkisar 750 - 840 µm (rata-rata 805 µm), yolk sac 160 - 185 µm (rata-rata 175 µm), oil globule 160 - 1850 µm (Apri, Bedjo, Irwan dan Suwirya., 2007.










Sumber : BBRPBL Gondol-Bali, 2007.

Gambar 4.22. Diagram Pola Penyerapan Kuning Telur (yolk) dan Butir Minyak (oil globule) pada Larva Kerapu Pasir (Epinephelus corallicola).


Pengamatan perkembangan organ larva kerapu pasir dilakukan setiap hari mulai dari D-0 s/ D-40 (panen). Pengamatan ini dilakukan di Laboratorium Biologi dengan menggunakan alat mikroskop set. Perkembangan organ yang diamati meliputi Panjang Total / total lenght (TL), panjang specifik/ specific lenght (SL), spina punggung (SP), spina dada (SD), lebar badan (DP), bukaan mulut (BM) dan jumlah rotifer yang dimakan (ER).






DP TL





BM SP


SL



SD


Gambar 4.23. Pengukuran Organ-organ Larva Kerapu Pasir


Berdasarkan tabel 4.11 (42) pembenihan (tebar telur) dilakukan mulai tanggal 6 november 2007 s/d 1 Desember 2007 dapat diketahui bahwa larva kerapu pasir berkembang secara pesat karena pakan yang diberikan berfungsi sebagai nutrisi untuk mempercepat pertumbuhan organ tubuh larva. Pada waktu larva berukuran kurang dari 3 cm pakan yang dikonsumsi dimanfaatkan untuk pertumbuhan panjang, karena bentuk dari larva pipih. Akan tetapi pada saat ukuran larva/juvenil berukuran lebih dari 3 cm maka makan dimanfaatkan untuk bobot.(Bedjo Slamet, 2008).















Gambar 4.24. Diagram Perkembangan TL Larva Kerapu Pasir (D-0 s/d D-25)


Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa pada D-0 s/d D-8 perkembangan panjang stagnan yaitu 1,00 – 4,67 mikron. Karena pada saat itu larva belum diberi rotifer, hanya diberi fitoplankton (Nannochloropsis, sp.). Pada D-9 s/d D-19 panjang larva mengalami pertambahan yang cepat karena rotifer dan love larav telah diberikan. Nannochloropsis hanya sebagai pakan pakan rotifer dan peneduh media budidaya apabila suhu lingkungan sangat tinggi. Pertambahan panjang antara 4,00 – 9,3 mikron. Pada saat setelah diberikan artemia pertumbuhannya semakin cepat yakni pada D-20 s/d D-40 yaitu berkisar antara 10,00 – 11 mikron. Pada saat inilah pakan yang diberikan sangat komplit, tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan larva tersebut.
















Gambar 4.25. Diagram Perkembangan Panjang Spesifik (SL) D-0 s/d D25

Berdasarkan gambar 4.25 (67) dapat diuraikan bahwa pertambahan pajang spesifik hampir sama perkembangannya dengan panjang total karena perbedaan panjang antara TL dan SL yakni berkisar antara 8,00 – 10 mikron.










Gambar 4.26. Diagram Pertambahan Panjang Spina Punggung Larva Kerapu Pasir (D-0 s/d D-25)


Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa pertumbuhan spina dimulai pada D-7 yaitu dengan ukuran 1,33 mikron, akan bertambah panjang sampai puncaknya pada D-20 yaitu berukuran 128 mikron. Dari D-21 s/d D-25 mengalami perpendekan, dimana spina punggung patah dan perlahan akan menjadi sirip keras. Perpendekan spina ini berlangsung sampai spina benar-benar menjadi sirip keras sampai D-35.










Gambar 4.27. Diagram Pertambahan Panjang Spina Larva Kerapu Pasir (D-0 s/ D-25)


Perkembangan spina dada juga hampir sama dengan perkembangan spina punggung. Pada saat D-0 s/d D-6 belum ada perkembangan. Pada D-7 spina tumbuh dengan ukuran 1,33 mikron terus bertambah panjang sampai D-20 dengan ukuran puncaknya 102,7 mikron. Pada saat D-21 ukuran spina dada juga mengalami pematahan sedikit demi sedikit sampai spina menjadi sirip keras, yakni pada D-35.










Gambar 4.28. Diagram Pertumbuhan Lebar Badan Larva Kerapu Pasir (D-0 s/ D-25).


Berdasarkan diagram di atas menunjukkan bahwa pertambahan tinggi badan, yang dikur dari perut hingga punggung tersebut mengalami pertumbuhan terus. Pertambahan ukuran dari D-0 s/d D-25 mengalami pertambahan rata-rata berkisar 0,6 – 4,00 mikron.










Gambar 4.29. Diagram Pertambahan (BM) Larva Kerapu Pasir (D-0 s/d D-25)


Berdasarkan diagram di atas menunjukkan bahwa bukaan mulut ikan dimilai sejak larva berumur 4 hari setelah menetas dengan ukuran bukaan mulut 3,7 mikron. Pertambahan bukaan mulut ini bertambah besar bersamaan dengan bertambahnya umurnya ikan. Pada D-25 diketahui ukuran bukaan mulut 23,33 mikron. Pertambahan bukaan mulut rata-rata per hari 0,81 mikron.









Gambar 4.30. Diagram Rotifer yang Dimakan Larva Kerapu Pasir (D-0 s/d D-25)


Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa daya cerna larva terhadap rotifer. Pada D-0 s/d D-6 di dalam lambung larva tidak diketemukan rotifer. Setelah D-7 s/d D-24 beragamg jumlah rotifer yang terdapat dalam lambung, karena semua itu tergantung pada tingkat nafsu makannya larva. Per ekor ikan dapat memakan rotifer berkisar antara 3 – 25 ind. Pada saat D-25 larva sudah tidak memakan rotifer karena sudah diganti artemia.


Berdasarkan tabel 4.12 (41) dapat diuraikan bahwa pertambahan panjang total (TL) pertambahan dengan rentang 5 hari berkisar rata-rata 4,9 cm cm. Pertambahan panjang spesifik rata-rata 3,85 cm. spina punggung menjadi sirip keras puncaknya pada D-25 kemudian akan patah pada D-35, keadaan tersebut sama dengan pematah spina dada yang berubah menjadi sirip keras pada dada. Pertambahan tinggi larva (DP) pada D-25 sekitar 3,3 cm kemudian pada D-40 menjadi 8,33 cm. Pertambahan tinggi tubuh per hari kenaikannya dirata-ratakan 1,48 cm. Bukaan mulut juga mengalami perkembangan, dimana pada saat D-25 bukaan mulut 2,37 cm sampai D-40 sekitar 5,67 cm. Rata-rata bertambahnya bukaan mulut perhari adalah 1,02 cm. Pada saat D-25 s/d > 40 larva tidak makan rotifer karena ukurannya sangat kecil, untuk selanjtnya sudah diberikan artemia dan pakan buatan dengan ukuran 200 – 600 mikron.


4.3.2.4. Pakan Larva

Pemberian pakan larva ikan kerapu pasir dilakukan sebelum terjadinya masa kritis larva, yaitu pada hari kedua (D-3) setelah telur menetas, dimana pada D-3 larva mulai membuka mulut dengan ukuran berkisar antara ± 2,5 - 30 µm. Oleh karena itu perlu dilakukan pemberian pakan alami pada satu hari sebelum larva mulai membuka mulut (D-2). Pemberian pakan alami berupa fitoplankton (Nannochloropsis sp). Penambahan fitoplankton dalam media pemeliharaan larva tidak hanya berfungsi sebagai makanan bagi larva secara langsung, tetapi juga berfungsi sebagai penyangga kualitas air dan makanan bagi zooplankton yang diberikan pada bak pemeliharaan larva. Dengan adanya fitoplankton tersebut, maka kualitas gizi dari zooplankton dapat dipertahankan (Isnasetyo dan Kurniastuty, 1995 dalam Ekawati, 2005). Larva yang baru ditebar di bak pemeliharaan, setelah menetas akan menyebar mengikuti arah arus yang ditimbulkan oleh aerasi. Pemberian fitoplankton (Nannochloropsis sp) dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pagi hari pukul 08.00 WITA. Cara pemberian Nannocloropsis sp adalah dengan mengalirkannya melalui bak fiber yang telah disisi Nannocloropsis sp sebelumnya. Pemberian Nannochloropsis oculata selama masa pemeliharaan larva berkisar antara 150 - 200 Ltr.


Pada saat larva mulai membuka mulut (D2) dilakukan pemberian pakan alami jenis zooplankton, zooplankton yang diberikan yaitu rotifer (Brachionus plicatilis). Hal ini dilakukan karena pada saat periode kritis larva ikan membutuhkan energi untuk perkembangan hidupnya. Oleh karena itu perlu diberikan makanan alami berupa rotifer untuk memenuhi kebutuhan nutrisi larva. Rotifer (Brachionus plicatilis) memiliki beberapa keunggulan sebagai sumber pakan awal bagi larva, diantaranya berukuran relatif kecil, berenang lambat sehingga mudah di mangsa larva, mudah dicerna, mudah dikembangbiakkan, mempunyai kandungan gizi cukup tinggi serta dapat diperkaya dengan asam lemak dan antibiotik (Lubzens, et al, 1989 dalam Rusdi, 1997). Saat periode kritis kuning telur (yolk sac) dan butir minyak (oil globule) sudah mulai habis. Pemberian pakan alami berupa rotifer dilakukan dengan menuangkan rotifer dari beaker glass di daerah sekitar aerasi agar rotifer cepat menyebar.




















Gambar 4.31. Pemberian Rotifer pada Larva

Tabel 4.19. Pola Pemberian Jenis Pakan pada Pemeliharaan Larva
Jenis Pakan
Ukuran Larva (hari)

2
3
5
10
18
34
35
40

Minyak Cumi
x
x
x
x





Nannochloropsis sp









Rotifer









Naupli Artemia









Pakan Buatan











Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa pemberian pakan pada larva dilakukan secara bertahap. Pemberian plankton jenis Nannochloropsis sp diberikan pada larva umur 2 hari dengan kepadatan 1-2x106 sel/ml, selain sebagai pakan pertama juga berguna untuk menstabilkan kondisi kualitas air media pemeliharaan terhadap kandungan amoniak yang berlebihan dan sekaligus penyediaan pakan rotifer. Hal ini sesuai dengan Sutrisno et al. (1999), larva D-2 media pemeliharaan diberi fitoplankton dari jenis Nannochloropsis sp, Dunaliella sp atau Tetraselmis sp akan tetapi yang sering digunakan adalah Nannochloropsis sp dengan kepadatan 2-4 x 105 sel/ml.


Pemberian dilakukan dengan mengalirkan Nannochloropsis sp yang siap panen dengan menggunakan pompa dari bak kultur masal Nannochloropsis sp ke bak pemeliharaan larva. Kepadatan pakan yang diberikan 200.000 sel/ml dan dipertahankan. Kepadatan tersebut dipertahankan sebagai penyeimbang kualitas air dan pakan rotifer yang berada didalam bak pemeliharaan larva. Setelah larva mulai membuka mulut yaitu pada hari ke-3, larva diberi pakan rotifer jenis S (Small) dengan kepadatan 2-5 ind./ml, kepadatan ini dipertahankan dan ditingkatkan menjadi 10-20 ind./ml hingga menjelang larva umur 18 hari. Sebelum rotifera diberikan terlebih dahulu diperkaya dengan Nannoclorophsis oculata dengan mengalirkan Nannoclorophsis oculata ke bak kultur masal rotifer menggunakan pompa DAB merk Sanyo. Pada D-3 sampai D-6 dengan kepadatan 2 ind/ml dan pada D-7 sampai D-20 ditambah menjadi 6 ind/ml. Saat larva berumur D-18 kepadatan rotifera secara berangsur–angsur dikurangi karena larva sudah diberikan naupli artemia. Pada D-20 pemberian rotifera dihentikan. Untuk mengetahui jumlah kepadatan rotifera yang akan diberikan, terlebih dahulu rotifera hasil pemanenan diambil sampel dan dihitung kepadatannya dilaboratorium pakan alami, sehingga diketahui berapa kepadatan rotifera yang akan diberikan di bak pemeliharaan larva. Penambahan rotifera dilakukan apabila kepadatannya kurang dari yang diinginkan.


Menurut Minjoyo et al. (1999), pemberian rotifer harus disesuaikan dengan umur larva dan harus dicek sebelum diberikan pakan baru. Pengontrolan terhadap kepadatan rotifera harus sesering mungkin supaya tidak terjadi blooming atau terjadi kekurangan rotifera pada bak pemeliharaan larva. Pakan buatan diberikan sedini mungkin agar tidak terjadi malnutrisi pada larva peliharaan, yaitu dimulai larva berumur 10 hingga umur 40 hari sebanyak 0,1-0,2 g/m3/hari dengan cara menaburkan di permukaan air. Pakan buatan mulai diberikan setelah larva berumur D-15 dengan cara ditebar merata pada permukaan bak pemeliharaan larva dengan frekuensi pemberian pakan setiap satu jam sekali atau sampai pakan yang diberikan benar–benar habis. Pada awal pemberian pakan buatan yang diberikan yaitu Love Larva No 2 dan No 3. Pemberian pakan buatan dimaksudkan untuk mencegah kekurangan nutrisi dan gizi yang tidak terdapat pada pakan alami. Dengan bertambahnya umur larva maka ukuran pakan yang diberikan semakin besar dan jumlahnya semakin bertambah. Menurut Hayashi (1995), dalam Suwirya et al. (1998), pemberian pakan buatan pada larva dapat meningkatkan vitalitas benih karena komposisi pakan buatan sudah diatur kandungan nutriennya.


Naupli Artemia salina diberikan setelah pakan buatan dengan kepadatan 0,2-0,5 ind./ml sehari, diberikan pada larva umur 18 hingga 35 hari. Pemberian artemia dilakukan dua kali sehari pukul 11.00 dan 17.00. Kepadatan pemberian artemia pada D-10 sampai D-20 sebanyak satu individu/ml dan pada D-21 sampai D-35 kepadatannya ditambah menjadi tiga individu/ml. Saat D-30 kepadatan artemia yang diberikan secara berangsur–angsur dikurangi karena larva sudah diberikan pakan buatan. Pemberian artemia dihentikan sampai D-35. Minyak cumi berfungsi sebagai penetral daripermukaan air apabila terjadi kematian plankton. Fitoplankton yang matinsifatnya menutupi permukaan air sehingga larva sulit unutk bernafas. Pada saat D-2 sampai D-10 sering terjadi kematian diakibatkan oleh kematian fitoplankton.


4.3.2.5. Pengelolaan Kualitas Air

Pengelolaan kualitas air bak pemeliharaan larva dilakukan dengan cara pergantian air dan penyiponan bak larva. Penyiponan bak larva dilakukan setiap hari setelah pemberian pakan, dilakukan saat larva berumur D-11 dimana larva sudah naik dipermukaan air, penyiponan dilakukan setiap hari. Adapun maksud dari penyiponan ini untuk menghindari bersarangnya kuman penyakit yang dapat mengganggu kelangsungan hidup larva. Selain itu setelah penyiponan media diberi larutan anti biotik dengan campuran air tawar. Dosis larutan tersebut yaitu 1:1,5 (anti biotik 100 gr + 1,5 liter air tawar). Anti biotik yang digunakan selama praktek adalah aerubazu (lihat gambar 15). Pergantian air dilakukan pada D-11 sebanyak 10-20 % sampai D-20. Pergantian sebesar 30-50 % pada D-21 sampai D-35 dan pergantian sebanyak 50-80 % dari D-21 sampai D-35. Pengelolaan kualitas air yang baik dapat memberikan pertumbuhan larva yang cepat dengan tingkat mortalitas yang rendah..


Pengamatan kualitas air setiap hari meliputi salinitas, DO, Salinitas, Amonia dan suhu. Pengamatan ini menggunakan alat-alat dari lab kimia. Berikut dibawah ini gambar peralatan yang digunakan untuk pengamatan parameter kualitas air.









(a). pH meter (b). DO meter





(c) Salinometer (d) thermometer

Gambar 4.32. Peralatan Pengukur Kualitas Air


Dari hasil pengukuran kualitas air (tabel 4.13)(42) diperoleh kisaran suhu, salinitas, pH dan oksigen terlarut menunjukkan kisaran yang relatif sama diantara dua bak. Suhu selama pengamatan berkisar 28-29 ºC, salinitas 32-33 ppt, pH 7,2-7,7 dan oksigen terlarut 5,3-5,5 ppm. Untuk lebih jelasnya kisaran kualitas air selama pemeliharaan larva dapat dilihat pada Tabel 10. Kondisi ini disebabkan karena wadah pemeliharaan berada dalam lingkungan yang sama, begitu juga dengan pasok air lautnya. Kisaran kualitas air ini di kategorikan masih layak bagi kehidupan larva karena menurut Boyd and Lichopler (1979), dalam Mayunar (1996), suhu optimal untuk larva kerapu berkisar antara 25–35 oC. Salinitas yang ideal untuk kegiatan pemeliharaan kerapu adalah 30-35 ppt, Standar pH untuk pembenihan kerapu adalah 7–8 dan kandungan oksigen terlarut untuk pembenihan kerapu adalah > 5 (Qodri et al., 1999).


4.3.2.6. Penyakit dan Pencegahannya

Penyakit yang menyerang larva adalah penyakit cacing pipih. Penyakit ini menyerang pada bagian tubuh larva, menyebabkan larva berenang dipermukaan dan nafsu makan berkurang. Penanggulangan penyakit ini dilakukan dengan cara pergantian air bak larva sebanyak mungkin dan pencegahan pada pemeliharaan larva meliputi :
Mensucihamakan semua sarana dan prasarana yang digunakan dalam kegiatan pembenihan.
Telur berasal dari induk yang sehat dan pengurangan terhadap padat penebaran larva.
Pemberian desinfektan terhadap telur yang akan ditebar yaitu dengan melakukan perandaman dengan larutan iodin
Tidak saling menukar peralatan kerja dan sterilisasi air media pemeliharaan.


Pengobatan sebaiknya merupakan usaha akhir jika tindakan pencegahan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Efek samping dari pemberian obat-obatan kadang malah menimbulkan masalah seperti terjadinya resisitensi terhadap ikan dan kemungkinan meninggalkan residu yang tidak diharapkan (Kurniastuty et al., 1999).


4.3.2.7. Pemanenan dan Grading

Pemanenan larva dilakukan umur 40 hari karena larva telah melampaui masa kritis yang dan morfologinya telah sempurna, panjang larva mencapai ukuran 16-18 mm. Pemanenan larva dilakukan secepat mungkin dan sangat hati-hati untuk menekan seminimal mungkin hal-hal yang menyebabkan stres pada larva, karena sifat larva yang sangat sensitif terhadap goncangan. Pemanenan dilakukan pada pagi hari, yang sebelumnya larva sudah dipuasakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Hermawan et al. (1999), pemanenan dapat dilakukan setelah larva menjadi benih yang sudah siap untuk dipindahkan ke bak-bak pendederan. Sebelum dilakukan pemanenan ikan dipuasakan terlebih dahulu atau dilakukan pemberokan.


Menurut Trijoko, dkk (2001), pemanenan benih dapat dilakukan dengan menggunakan waskom plastik, yaitu cukup dengan meletakkan waskom plastik untuk dipindahkan ketempat yang telah dipersiapkan. Cara ini dilakukan berulang kali bersamaan dengan air bak diturunkan secara perlahan-lahan. Dengan ini hampir 90% juvenil tertangkap. Air bak yang tersisa 30% digunakan untuk menangkap ikan yang tersisa (10%) dengan gayung air.


Pemanenan larva dilakukan dengan cara memasukan tudung saji/seser secara perlahan-lahan didekat benih yang bergerombol, sehingga dengan sendirinya benih akan masuk bersamaan air kedalam tudung saji tersebut. Apabila kepadatan benih tinggal sedikit, maka pemanenan larva dilakukan dengan cara menurunkan air pemeliharaan sampai ± 30 cm, kemudian larva ditangkap dengan gayung secara hati-hati dan dikumpulkan pada ember yang diberi aerasi setelah itu dipindah kebak pendederan. Pada saat pemindahan larva kebak pendederan dilakukan grading untuk menyeragamkan ukuran larva pada bak pendederan. Grading dilakukan untuk mengurangi kanibal, mencegah terjadinya persaingan memperoleh pakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Mijoyo et al. (1999), grading adalah memisahkan ukuran ikan besar dari ikan yang kecil, sehingga ukuran ikan relatif lebih seragam sehingga dapat menekan kematian ikan karena kanibal. Di bak pendederan larva dipelihara selama 1,2-1,5 bulan (tergantung permintaan pasar), biasanya untuk mendapatkan ukuran 7-8 cm pendederan dilakukan selama ± 1,5 bulan dan untuk ukuran 4-6 cm selama ± 1 bulan










Gambar 4.33. Benih Kerapu Pasir Hasil Pemeliharaan selama 40 hari


Dari tabel 4.10 (41) dapat diuraikan bahwa rendahnya sintasan yang diperoleh hasil pemeliharaan larva ikan kerapu pasir ini diduga kurang dalam variasi pakan alami seperti jambret (udang mysid) pada larva umur 30 sampai dengan 40 hari. Arif & Katimin (2007) melaporkan, dengan kombinasi pakan yang diberikan berupa; rotifer, naupli artemia, udang mysid dan pakan buatan pada larva ikan yang sama dapat menghasilkan sintasan yang lebih tinggi yaitu 6,1 –7,0%. Selain itu terjadi gangguan fisik, penanganan panen yang kurang hati-hati serta adanya virus VNN yang menyerang benih (Gufron Achmadi, 2007). ikan yang sama dapat menghasilkan sintasan yang lebih tinggi yaitu 6,1 –7,0%. Dalam pemeliharaan ini tampak sintasan larva masih lebih baik mungkin karena didukung juga dengan menajemen pemeliharaan media yang baik.


4.3.2.8. Pemasaran

Cara pemasaran benih ikan Kerapu Pasir yang dilakukan adalah:
Secara Pasif, yaitu para konsumen disekitar lokasi pembenihan yang memiliki hatchery skala rumah tangga, langsung datang membeli benih ikan Kerapu Pasir. Adapun pemesanan benih skala besar dari luar pulau yaitu Lampung, Manado, Nusa Tenggara Barat dan Batam.
Secara aktif, yaitu mencari pembeli secara langsung disekitar lokasi kepada masyarakat yang mempunyai hatchery/backyard pembesaran dan juga mencari pembeli di luar pulau Bali.


4.3.3. Kegiatan Pendederan Benih

Kegiatan pendederan dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2007. Kegiatan pendederan dibimbing oleh teknisi BBRPBL Gondol-Bali yang bernama Gufron Achmadi. Kegiatan pendederan meliputi ; pengadaan benih, persiapan wadah pemeliharaan, penebaran benih, pakan dan pemberian pakan, pengelolaan kualitas air, pengendalian hama dan penyakit, dan pemanenan.


4.3.3.1. Pengadaan Benih

Pengadaan benih merupakan salah satu usaha yang dilakukan untuk mempersiapkan bahan suatu komoditas yang akan dibudidayakan. Pengadaan benih untuk pendederan saat PKL dilaksanakan yaitu mengambil dari hasil pemeliharaan larva yang dilaksanakan pada tanggal 6 November 2007.

Benih-benih yang dipakai untuk pendederan ukurannya beragam, maka dari itu sebelum pelaksanaannya telah dilakukan penyeleksian ikan (Greeding). Dari hasil greeding tersebut kami memperoleh ukuran ikan 1,7 cm – 3 cm. Untuk kemudahan dan menekan tingkat kanibalisme dibagi menjadi 2 bagian yaitu ; ukuran 1,7 – 2,4 dan ukuran 2,5 – 3 cm.


4.3.3.2. Persiapan Wadah Budidaya

Pada akhir pemeliharaan larva yaitu pada saat larva mengalami metaformosis menjadi ikan muda biasanya ukurannya tidak seragam, bersifat kanibal, cenderung berkumpul di satu tempat. Mengingat ciri-ciri tersebut, pendederan di bak terkontrol lebih mudah dalam penanganannya. Pendederan dilaksanakan diruang terbuka yaitu dengan menggunakan wadah budidaya bak fiber dengan volume 5 ton dan bak beton yang berkapasitas 3 ton. Lihat gambar (4.34)(79).











Gambar 4.34. Bak Beton (3 ton) dan Bak Fiber (5 ton)


Prosedur persiapan wadah pemeliharaan pendederan yang dilakukan meliputi ; klorinisasi, pengeringan, pengisisan air media dan pemberian aerasi.


1. Klorinisasi

Klorinisasi merupakan salah satu usaha sterilisasi alat dengan menggunakan bahan kimia HCL (hipochlorit). Tujuan dari klorinisasi ini adalah untuk membunuh bakteri-bakteri dan alga hijau yang masih menempel pada alat yang akan digunakan (wadah pemeliharaan). Langkah-langkah klorinisasi meliputi penimbangan dosis kaporit sebanyak 25 gr/ton. Selanjutnya dilakuan pengenceran dengan air tawar (secukupnya). Setelah itu, bak media disiram dengan larutan klorin sampai merata kemudian sikan sampai bersih. Setelah bersih dari alga, kemudian bersihkan dengan air tawar sampai bau kaporitnya benar-benar hilang.


2. Pengeringan

Pengeringan diartikan sebagai usaha usaha sterilisasi bahan dari bau kaporit. Pengeringan ini dilakukan setelah klorinisasi, dengan lama pengeringan ini sekitar 24 jam.


3. Pengisian air media

Pengisian air media merupakan salah satu usaha untuk mempersiapkan media dalam kelangsungan hidup. Air media yang digunakan adalah air laut dengan tingkat salinitas 34 – 35 ppm. Pengisian air media ini sebanyak 97 % dari volume bak pemeliharaan, tujuannya agar air tidak meluap.

4. Pemberian dan Pengaturan aerasi

Aerasi merpakan salah satu usaha untuk mensuplai oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh ikan. Pemberian aerasi dalam kegiatan pendederan sebanyak satu titik saja. Aerasi ini bersumber dari blower yang disambungkan dengan pipa peralon kemudian dibagi pada bak-bak pemeliharaan melalui selang aerasi dengan diameter 0,5 cm. Agar tenggelam ujung aerasi diberi batu aerasi sebanyak 1 buah. Penempatan aerasi harus di tengah-tengah supaya bisa menyebar ke segala arah secara merata.








Gambar 4.35. Selang dan Batu Aerasi


4.3.3.3. Penebaran Benih

Penebaran benih untuk pendederan dilaksanakan pada tanggal 18 Desember 2007. penebaran merupakan usaha menanam sesuatu yang dibudidayakn pada media yang telah tersedia. Dalam kegiatan penebaran benih ini harus teliti karena bisa membawa dampak jeleknya produksi.


Sebelum penebaran ikan-ikan yan akan dibudidayakan diseleksi mulai dari ukuran, bebas dari penyakit dan tidak cacat. Seleksi ukuran (panjang total) telah dilakukan pada saat panen larva dan saat itu dilakukan greeding, karena dapat meningkatnya kanibalisme. Ikan-ikan yang kena penyakit dipisahkan kemudian dilakukan treatment dan pengobatan.


Penebaran benih dilakukan pada pagi hari tepatnya pukul 08.00 WITA. Karena hasil panen larva sebanyak 3.603 ekor dengan ukuran 1,7 – 3 cm yang kemudian dilakukan greeding menjadi 2 bagian yaitu ; ukuran 1,7 – 2,4 dan ukuran 2,5 – 3 cm, maka penebaran untuk bak fiber bervolume 5 ton sebanyak 2.165 ekor dan bak beton berkapasitas 3 ton sebanyak 1.438 ekor.

4.3.3.4. Pakan dan Pemberian Pakan

Nutrisi merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam budidaya ikan. Beberapa komponen nutrisi yang penting dan harus tersedia dalam pakan ikan antara lain protein (asam amino), lemak (asam lemak), karbohidrat, vitamin, serta mineral. Nutrisi mempunyai pengaruh yang besar terhadap kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi ikan. (Linder, 1992).


Bahan baku pakan kerapu berbeda dengan bahan baku yang digunakan untuk bandeng dan udang. Kerapu yang bersifat karnivora membutuhkan lebih dari 50 % protein dalam pakannya yang berasal dari bahan hewani. Kriteria dalam pemilihan bahan baku untuk pembuatan pakan kerapu antara lain kandungan nutrisi, daya cerna, ketersediaan, kontinuitas serta harganya (Akbar,2000).


Pakan yang diberikan pada kegiatan pendederan adalah pelet crumble dengan diameter 1 mm. Pemberian dilakukan 10x sehari (setiap satu jam sekali pakan diberikan) secara adlibitum (sekenyangnya), karena pada saat metamorfosa tingkat kanibalismenya tinggi sehingga untuk menekan hal tersebut dibutuhkan pakan secara berkesinambungan. Pemberian pakan dilakukan secara perlahan-lahan supaya pakan dapat dimanfaatkan semua. Hal ini dilakukan agar pakan tidak mengendap di dasar bak, sehingga berdampak buruk terhadap kualitas air akibat oksidasi. Selain itu kebiasaan makan kerapu sangat renponsif terhadap pakan yang melayang dibandingkan dengan pakan yang langsung tenggelam ke dasar bak. Kondisi tersebut menuntut agar pakan yang diberikan selain proteinnya > 47% juga memiliki daya apung sekitar 0,5 – 1 menit.


4.3.3.5. Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air merupakan faktor yang terpenting dalam kegiatan budidaya. Dalam kajian ilmiah maupun biologi setiap organisme aquatik memiliki kisaran minimumdan maksimum untuk mempertahankan kehidupan. Pengelolaan kualitas air adalah satu usaha untuk menstabilkan parameter lingkungan yang sesuai dan dibutuhkan oleh organisme tersebut. Adapun pengelolaan kualitas air tersebut dibagi ke dalam tiga aspek yaitu bilogi, kimia dan fisika. Dari beberapa parameter fisika, kimia maupun biologi air laut pada dasarnya ada beberapa parameter yang menjadi prioritas, diantaranya adalah : salinitas, pH, suhu, BOD, nitrit, amoniak, dan DO.


Secara visual air yang memiliki kualitas baik dapat ditandai dengan kejernihan, karena pada umumnya mempunyai kandungan partikel-paartikel terlarutnya rendah. Pada air yang kecerahannya tinggi, bebarapa parameter kualitas air lain yang terkait erat hubngannya dengan bahan organic seperti pH, nitrit, dan amoniak cenderung rendah atau layak untuk kegiatan budidaya.


Suhu secara langsung berpengaruh terhadap proses metabolisme ikan. Pada suhu tinggi metebolisme ikan dipacu, sedangkan pada suhu yang lebih rendah proses metabolisme diperlambat. Dampak dari kenaikan suhu yang ditolelir dapat empercepat pertumbuhan, akan tetapu kenaikan suhu yang tidak dapat ditolelir mengakibatkan kematian. Begitu juga apabila keadaan suhu menurun drastis. Menurut Anonymous (2004) : kisaran suhu adalah 28-32 0C.


Ikan kerapu khususnya dapat hidup di perairan berkarang dengan kisaaran salinitas 30 – 35 ppt. Oleh karena itu untuk menghindari fluktuatif hendaknya lokasi tidak berdekatan dengan muara sungai. Kisaran salinitas akan naik turun tergantung pada musim. Dari hasil di lapang kisaran salinitas 35-36 ppt menunjukan bahwa salinitas masih cukup terkendali.


Menurut Boyd (1982), dekomposisi bahan organic dan respirasi akan menurunkan kandungan oksigen terlarut, sekaligus menaikkan kandungan CO2 bebas sehingga mengakibatkan turunnya pH air. Beberapa contoh yang dapat diakibatkan oleh pengasaman air antara lain :
Amoniak bersifat racun bagi ikan dan organisme lain. Perbandingan ammonium : ammonia tergantung pada pH.
Karbondioksida (CO2) juga racun bagi ikan, perbandingan hydrogen Karbonat : CO2 juga tergantung pada pH.
Fertilisasi telur ikan dan zooplankton sangat tergantung pada pH air.
Semua proses biologi mempinyai kisaran pH optimum biasanya antara 6 – 8, jadi pertumbuhan alga, dekomposisi mikrobiologi, nitrifikasi dan denitrifikasi juga dipengaruhi pH air.
Pada pH rendah, ikatan logam berat dengan tanah atau sediment sangat cepat dan mudah terlepas.
Kematian organisme perairan dapat terjadi pada pH 4 dan 11 (Brotohadikkusuma, 1997).


BOD ini sangat erat kaitannya dengan eutrofikasi, yaitu suatu proses pengkayaan zat hara di perairan (terutama oleh fosfat dan nitrat) yang mengakibatkan habisnya gas oksigen terlarut. Semakin tinggi angka BOD suatu bahan air, semakin berat derajat pencemaran organic tersebut, karena di dalamnya terdapat sedemikian banyak zat organik yang memerlukan oksigen dalam kelanjutan proses dekomposisnya. Pengukuran BOD seperti halnya COD juga dimaksudkan untuk mmengetahui kandungan bahan organik dalam suatu perairan serta untuk mengetahui sampai seberapa berat beban polutan yang terjadi di perairan calon lokasi yang akan dipilih.


Amoniak (NH3-H) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu hasil dari proses penguraian bahan organik . amoniak ini berada dalam suatu bentuk amoniak tak beracun (NH3) dan amoniak beracun (NH4). Amoniak akan mngakibatkan media tercemar bahkan terhadap organisme-organisme akan mengalami daya tahan tubuh.


Oksigen terlarut dalam perairan sangat dibutuhkan semua organisme yang ada di dalamnya untuk pernafasan dalam rangka melangsungkan metabolisme dalam tubuh Menurut Anonymous (2004): kisaran nilai Oksigen Terlarut (DO) adalah > 5 ppm. Oksigen yang ada dala air bisa masuk melalui difusi dengan udara bebas, hasil fotosintesis dar tanaman air dan adanya aliran air baru. Kandungan oksigen perairan perlu diketahui untuk menduga kesuburan perairan tersebut secara keseluruhan dan dapat dipakai untuk mengatasi kadar BOD maupun COD. Untuk menangani hal tersebut dalam kegiatan dilakukan pergantian setiap hari serta sirkulasi air selama 24 jam per hari. Debit air dalam pemeliharan tersebut adalah 250 ml/detik. Pengujian ini dilakukan menggunakan gelas volumetrik kemudian dihitung dengan stop watch.


Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa kisaran salinitas 35-36 ppt menunjukan bahwa salinitas masih cukup terkendali., pH 8,17-8,64 menunjukan bahwa pH cukup optimum., Oksigen Terlarut (DO) adalah 4,8-5,6 ppm menunjukan bahwa Oksigen Terlarut (DO) di perairan masih terkontrol dan kisaran suhu adalah 28,2-28,3 0C menunjukan bahwa suhu di perairan masih terkontrol.


4.3.3.6. Pengendalian Hama dan Penyakit

Selama pemeliharaan tidak ditemukan adanya hama maupun, karena selama pemeliharaan larva, kualitas air selalu pada kondisi yang baik/optimum sehingga tidak menjadi stres. Menurut Trijoko, dkk (2001) larva yang stres karena kualitas air dan karena kepadatan yang terlalu tinggi dapat memicu timbulnya Viral Nervous Necrosis (VNN). Untuk pengendalian tersebut maka seminggu sekali diberi anti boitik 100 gr yang dicampur dengan 1,5 liter air tawar, kemudian larutan tersebut dimasukkan pada media cultur setelah disipon dan pergantian air.


4.3.3.7. Grading

Grading adalah menyamaratakan, artinya usaha untuk menyeleksi ikan yang ukurannya sama. Pada kegiatan pendederan yang telah dilakukan greeding setelah panen larva sebanyak 3 kali. Grading I dilakukan pada saat pemanenan larva , grading II dilakukan pada pendederan I dan grading III dilakukan pada saat pendederan II.


Dari tabel 4.14 (41) dapat diuraikan bahwa ukuran juvenil sangat beragam mulai dari ukuran 1,7 sampai 3 cm. Ukuran tersebut hasil dari pemeliharaan larva selama 40 hari sebanyak 3.605 ekor dengan survival rate (SR) 4,70%. Greeding II dilakukan pada pendederan I yang mana hasil dari pemeliharaan sebanyak 2.565 ekor berukuran 2,5 sampai 3,5 cm. Tingkat kelangsungan hidupnya (SR) 71,15%. Pada greeding III atau panen pendederan dihasilkan juvenil sebanyak 513 ekor dengan ukuran 3,9 sampai 9 cm. Tingkat kelangsungan hidupnya 80%.



4.3.3.8. Pemanenan

Juvenil yang akan dipanen sebaiknya dipuasakan selama 1 hari, hal ini sebagai upaya meminimalkan aktivitas proses kecernaan. Juvenil kerapu pasir yang dipanen masih dalam kondisi hidup, sehat, tidak cacat serta tahan terhadap kondisi stres. Pemanenan juvenil dilakukan dengan cara mengurangi air pemeliharaan 90% dari volume bak, kemudian serok pelan-pelan dengan menggunakan seser berdiameter 2 mm ketempat penampungan juvenil yang sebelumnya telah dipersiapkan. Setelah itu juvenil hasil panenan harus segera diseleksi ukurannya dan dikelompokkan menjadi ukuran besar dan kecil (greeding) hal ini untuk menghindari terjadinya kanibalisme pada pembesaran. Seleksi dapat dilakukan dengan menggunakan tangan sekaligus dilakukan perhitungan jumlah juvenil.


Menurut Trijoko, dkk (2001), pemanenan benih dapat dilakukan dengan menggunakan waskom plastik, yaitu cukup dengan meletakkan waskom plastik untuk dipindahkan ketempat yang telah dipersiapkan. Cara ini dilakukan berulang kali bersamaan dengan air bak diturunkan secara perlahan-lahan. Dengan ini hampir 90% juvenil tertangkap. Air bak yang tersisa 30% digunakan untuk menangkap ikan yang tersisa (10%) dengan gayung air.


Analisa Usaha

Di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL) Gondol-Bali pembenihan kerapu pasir dalam skala besar tetapi penulis hanya membahas perhitungan finansial kerapu pasir dalam skala kecil karena fasilitas yang ada di BBRPBL Godol-Bali digunakan oleh berbagai macam kegiatan selain pembenihan kerapu macan seperti pembenihan abalon, teripang dan mutiara. Dalam praktek dilapangan penulis hanya melakukan pengamatan pemeliharaan larva kerapu macan sebanyak 4 bak sampai umur D-40 dan dilanjutkan pendederan larva berumur 70 hari. Analisa usaha pembenihan kerapu ini dengan membeli telur sebanyak 100.000 butir dan menghasilkan benih sebanyak 5000 ekor umur70 hari.




1. Biaya Investasi

Untuk memulai produksi besarnya biaya investasi yang disediakan adalah sebesar Rp 141.685.000 yang digunakan untuk penyedian sarana dan prasarana. Biaya tetap yang digunakan dalam pembenihan kerapu macan ini setiap tahunnya sebesar Rp 39.975.000 yang terdiri dari gaji karyawan dan teknisi, perawatan alat serta penyusutan. Biaya tidak tetap pertahun Rp 21.676.500.


2. Biaya Produksi / Total Biaya

Biaya produksi atau total biaya yang dikeluarkan dalam satu tahun adalah biaya tetap ditambah biaya tidak tetap selama setahun adalah Rp 61.651.500. Untuk lebih jelasnya biaya produksi/total biaya dapat dilihat pada Lampiran 24. Biaya tetap persiklus Rp 6.662.500 dan biaya tidak tetap / variabel persiklus Rp 3.612.750 (1 tahun 6 kali siklus).


Biaya produksi = Biaya Tetap setahun + Biaya variabel setahun

= (Rp 6.662.500 x 6) + (Rp 3.612.750 x 6)

= Rp 39.975.000 + Rp 21.676.500

= Rp 61.651.500


3. Pendapatan Usaha

Selama pemeliharaan sampai D-60 menghasilkan rata-rata survival rate atau tingkat survival rate sebesar 5 % yang berjumlah 5000 ekor. Harga jual Rp 3000/ekor. Dalam satu tahun berlangsung enam kali siklus, maka di peroleh hasil dengan perhitungan sebagai berikut :

Pendapatan persiklus = Rp 3000 x 5000 ekor

= Rp 15.000.000 / siklus.

Pendapatan pertahun = Rp 15.000.000 x 6 siklus

= Rp 90.000.000


4. Analisa Laba / Rugi

Laba / Rugi = Total pendapatan – Total biaya

= Rp 90.000.000 – Rp 61.651.500

= Rp 28.348.500

Dalam perhitungan laba bersih digunakan potongan pajak penghasilan daerah sebesar 5 % untuk tiap tahunnya.

Laba bersih = Rp 28.348.500 - (5% x Rp 25.458.300)

= Rp 28.348.500 – Rp 1.417.425

= Rp 26.931.075 / tahun.



5. Analisa titik impas (BEP)





Rp 39.975.000

= ——————————

Rp 21.676.500

Rp 3000 - —————

30.000 ekor

= 17.552 ekor / tahun


Hasil perhitungan diatas menunjukkan bahwa pada produksi sebesar 17.552 ekor / tahun pembenihan kerapu macan tersebut tidak mengalami kerugian dan keuntungan (titik impas). Oleh karena itu supaya usaha tersebut mendapatkan keuntungan maka harus diupayakan total produksi melebihi 17.552 ekor / tahun.












Rp 39.975.000

= ————————

Rp 21.676.500

1 - ——————

Rp 90.000.000

= Rp 52.598.684 / tahun


Hasil perhitungan tadi menunjukkan bahwa pada penjualan sebesar Rp. 52.598.684 / tahun pembenihan kerapu pasir tersebut tidak mengalami kerugian dan keuntungan (titik impas). Oleh karena itu supaya usaha tersebut mendapatkan keuntungan maka harus diupayakan penjualan melebihi Rp 52.598.684 / tahun.


6. B /C Ratio


Total Pendapatan


B/C Ratio =

Total biaya


Rp 90.000.000

= ————————

Rp 61.651.500


= 1,45


Berdasarkan perhitungan dihasilkan B/C Ratio > 1, berarti usaha tersebut layak dilakukan yang artinya setiap penambahan Rp 1 maka akan menghasilkan Rp 1,45.


7. Payback Periode (PP)


Investasi


PP = x 1 tahun

Keuntungan + Penyusutan


Rp 141.685.000


= x 1 tahun

Rp 26.931.075 + Rp 15.375.000


Rp 141.685.000


= x 1 tahun

Rp 42.306.075


= 3,3 tahun


Dari hasil perhitungan payback periode diatas menunjukkan bahwa investasi sebesar Rp 141.685.000 memerlukan waktu pengembalian selama 3,3 tahun.

0 komentar:

Posting Komentar